Presiden Prabowo Subianto baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024, yang berisi kebijakan penghapusan utang bagi petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Kebijakan ini merupakan langkah ambisius yang diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi sektor-sektor utama.
Namun juga menimbulkan berbagai tantangan yang perlu dicermati secara cermat dan bijaksana karena penghapusan utang tersebut tidak dibebankan pada Anggaran Pendapatan Negara (APBN) Tapi penghapusan buku piutang oleh bank-bank pemerintah, jadi kalo kebijakan ini tidak diatur secara hati-hati dan penuh kecermatan akan mengganggu keuangan bank BUMN yang kemungkinan bisa berdampak pada perekonomian nasional, makanya harus sangat berhati-hati dan cermat, karena bank BUMN tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga pondasi penting dalam struktur ekonomi Indonesia, dengan potensi signifikan untuk menggerakkan peningkatan kesejahteraan nasional.
Tapi langkah ini diharapkan mampu membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang selama ini mengalami kesulitan pembiayaan, terutama bagi mereka yang terdampak bencana atau ketidak setabilan cuaca dan sebagianya pada beberapa sector terutama di sektor pertanian dan perikanan.
Dengan penghapusan utang senilai Rp10 triliun, kebijakan ini berpotensi membuka kembali akses permodalan bagi UMKM untuk bangkit dan berkembang, disini ada harapan baru untuk para UMKM yg selama ini kesulitan membayar beban utang dan kredit macet pada modal usaha, bahkan ada angina segar untuk bangkit kembali membangun usahanya.
Tapi disisi lain akan adanya potensi dampak negatif yang perlu diwaspadai, terutama dalam hal moral hazard dan ketidakadilan karena kebijakan ini berisiko menciptakan preseden buruk.
Ada kemungkinan nasabah di masa depan akan menganggap ringan kewajiban pembayaran mereka dengan harapan utang mereka kelak akan dihapuskan oleh pemerintah dan disini perlu dikaji peraturan untuk membuat para penerima modal benar-benar taat dan menggunakan modal usahanya dengan baik dan menjamin pengembalian yang baik dan lancer juga.
Di samping itu kebijakan ini mungkin dianggap tidak adil bagi pelaku UMKM yang telah berupaya keras memenuhi kewajiban pembayaran mereka, dan ini bisa menimbulkan ketidakpuasan atau kecemburuan secara social.
Dan harusnya ada kebijakan sendiri bagi mereka para pelaku UMKM yang selama ini lancar dalam memenuhi kewajibanya mungkin bias penambahan modal tanpa syarat maupun lebih dimudahkan untuk menaikan angka kereditnya, istilahnya ada reward buat mereka yang lancer membayar kreditnya, agar ada rasa keadilan pada semua.
Disisi lain pentingnya langkah mitigasi untuk menghindari penyalahgunaan kebijakan, tidak ada kemungkinan adanya penyalah gunaan kebijakan ini dilapangan, pemerintah juga harus memberikan tidak hanya pengawasan yang ketat tapi juga adanya sangsi yang tinggi kalo ada potensi bahwa kebijakan ini akan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria UMKM atau bahkan tidak sesuai.
Pemerintah untuk menerapkan kriteria yang ketat serta pengawasan yang cermat dalam pelaksanaannya transparansi dan akuntabilitas harus diutamakan untuk memastikan bahwa program ini benar-benar menjangkau pelaku usaha yang membutuhkan bantuan dan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
Hal ini menjadi sangat penting karena pemerintah diharapkan dapat mempertahankan target pertumbuhan ekonomi hingga 8% sampai akhir masa pemerintahan Presiden Prabowo.
Meskipun kebijakan ini memiliki potensi untuk memberdayakan UMKM dan sektor pertanian implementasi kebijakan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Kebijakan penghapusan utang ini merupakan langkah strategis, namun pemerintah harus waspada agar dampaknya terhadap disiplin keuangan dan stabilitas sistem perbankan nasional tetap terjaga.
Semoga kebijakan ini juga dapat meningkatkan perekonomian nasional terutama ekonomi masyarakat yang bebrapa tahun ini cukup lesu.
Dan pemerintahan saat ini benar-benar menjadi harapan baru bagi masyarakat semoga Indonesia semakin jaya di bawah kepemimpinan Prabowo Gibran.
(R Priono BS)